Minggu, 24 Mei 2009

Tak Kenal Waktu (Akankah Waktu Ceritakan Kita??)

”Tak tahu kapan waktu akan ceritakan kita, tetapi selama waktu masih menjauh, kita harus bakar rasa putus asa dalam diri dan terus mencoba meski telah terjatuh berulang kali.”

Aku, Farayu, gadis yang harus tinggal di zona yang sebenarnya umurku tak pantas ada di sana. Aku hidup di trotoar jalan, dan ku sambung hidupku dari tangan-tangan yang memberi. Entahlah dimana dan siapa kedua orang tuaku, aku tak tahu. Sepertinya mereka mencampakkan aku dari lahir. Walau terkadang perih, walau terkadang letih; aku tak pernah putus asa akan keyakinan akan datang hari dimana waktu akan ceritakan aku.


Bukan Cuma aku yang merasakan getir hidup di usia 15-ku ini, ada banyak sekali anak di bawah umur seperti ku yang harus mengais rizki dengan tangan kecil yang diberikan Tuhan. Bahkan, tak sedikit anak balita terpaksa menikmati kerasnya kehidupan karena dijadikan ibunya guna mendapatkan uang lebih dari profesinya sebagai pengemis.


Untung aku tak sendiri menjalani hidup ini, ada 3 sahabat yang mengalami nasib yang sama. Nama para sahabatku Nesisa, Dikta, dan Tati. Kami berempat saling menguatkan, memberi nasihat, dan saling menjaga. Walau umur kami berbeda, tak menjadi masalah bagi kami untuk menjalani hidup ini bersama. Kalau boleh jujur, kami sebenarnya tak pingin untuk hidup begini, kami kubur dalam-dalam untuk merasakan apa itu yang mereka sebut pendidikan di sekolah.


Seperti pagi ini, kami harus luntang-lantung mencari untung.

”Selamat pagi, kawan-kawanku.Yuk, kita bersiap-siap mencari uang lagi!!” Kata Tati menghampiri kami bertiga yang masih tertidur di atas selembar kardus bekas.


Nesisa, gadis yang tak pernah mengenal kata menyerah, menyahut,”Ayo! Aku juga udah siapin alat musikku.”


”Aku juga udah siapin.” Kata Dikta.


”Bagus! Kalau begitu kita sudah siap bagi tugas.” Kataku.

Dikta terlihat bingung dan ia bertanya,” Tapi, hari ini kita mau nyari uang di daerah mana?”


”Ya, kalau masalah daerah mana, entar aja deh kita pikirkan di jalan. Sekarang yang penting kita harus bergegas pergi dari sini.” Ujar Tati.


”Iya, benar tuh apa yang dikatakan Tati. Masalah tempat tujuan kita hari ini, entar aja dibicarainnya. Sekarang kita berangkat dulu aja dari sini.” Timpal Nesisa.


Dikta akhirnya mengikuti apa yang mereka katakan. ”Ya udah deh. Aku ikut omongan kalian.”

Aku berteriak sembari mengangkat bokongku,” Oke...kalau begitu tunggu apa lagi? Kita berangkat!!”


”Yeah...cabut, cong!”


”Tarik mang...”


Aku dan ketiga sahabatku pun berlalu dari tempat kami singgah untuk rebahkan raga. Dengan langkah penuh semangat membara, kami menuju gerbang kisah baru hari ini.


Kami menyusuri sepanjang trotoar yang sepertinya tak berujung. Kami tak merasa ini sebuah beban, kami menganggap ini hanyalah sebuah petualangan yang langka bagi anak seusia kami.

~*+*~

Keadaan kota pagi ini belum dipenuhi orang-orang angkuh yang setiap harinya menjalani aktifitas masing-masing.

Tak ada satu mobilpun yang melaju di sepanjang jalan yang kami lalui. Ada apa? Apa ini masih terlalu pagi?

Ternyata, jam di kantor polisi masih menunjukkan pukul 05.30. pantas aja jalanan masih sepi dengan koar-koar mesin kendaraan.


Kami terpaksa harus menunggu dengan sabar dan berharap ada yang lewat. Hanya berselang beberapa menit saja, terlihat mobil berwarna putih melaju dari kejauhan. Kami berempat berharap mobil itu bisa menjadi pundi emas pertama bagi kami hari ini.


Beruntung, ketika mobil itu semakin dekat, traffic light pun menjadi merah. Tanpa membuang-buang waktu lebih lama lagi, setelah mobil itu berhenti, kami mendekati mobil tersebut. Kami tancap gas menyanyikan lagu ciptaan kami sendiri yang merupakan lagu curahan hati kami selama hidup di jalanan. Judulnya Tolong Dengarkan.


Walau suaraku jauh dari kualitas vokal para penyanyi tenar, aku coba berikan suara terbaikku. Aku bersemangat dengan harapan mendapat uang yang cukup. Diiringi alat-alat musik sederhana sahabat-sahabatku, semangatku makin menggebu-gebu.


Tiga menit lamanya aku bernyanyi, tapi orang yang ada di dalam seperti tak menghiraukan kami. Aku langsung berpikir, sepertinya suara yang telah aku keluarkan tak ada gunanya. Aku putus asa. Sama sepertiku, teman-temankupun terlihat mulai kehilangan harapan. Tita segera memberi kode kerlingan mata tanda kami harus meninggalkan mobil tersebut. Tapi tak disangka, kaca belakang mobil itu berjalan halus ke bawah. Tampak senyuman seorang gadis cantik berseragam sembari mengulurkan tangannya ke luar jendela. Matanya indah bak berisi harapan masa depan cerah. Aku terpikat keelokannya. Tapi ia segera berlalu dengan mobil putihnya setelah lampu lalu lintas menjadi hijau. Aku sepertinya tersihir melihat dirinya. Sampai-sampai aku harus dikagetkan dulu oleh Nesisa agar tersadar dari khayalanku.


”Hayo..kamu lagi mikirin apa?!”

”Eng...enggak. aku tadi Cuma kagum melihat gadis di dalam mobil tadi. Ia begitu cantik, senyumannya manis sekali, wangi parfumnya tercium sampai ke hidungku, matanya penuh harapan cerah, dan ponsel keren di tangan kirinya. Gak seperti aku. Aku jelek, badanku hanya bau parfum alami dari keringatku, di mataku hanya tampak harapan-harapan yang belum tentu terjadi, dan belum lagi aku Cuma punya brosur bergambar ponsel yang mirip dengan miliknya. Andai aku jadi dia.”

Tita memeluk tubuhku, lalu ia berkata,” Iya aku tahu. Siapa sih cewek yang gak pengin jadi seperti dia? Aku aja kalau bisa memilih, aku pengin menjadi sepertinya. Tapi hidup ini menakdirkan kita begini. Jadi kita harus terima, meski kehidupan ini terasa tak adil buat kita.”


”Iya. Kehidupan ini terasa tak adil..”. Aku marah pada keadaanku.


”Udah-udah. Hidup kelihatannya tak adil, tapi Allah telah mengatur sedemikian rupa indahnya.”. Dikta menasehati aku dan Tita agar tetap mensyukuri keadaan kami apa adanya.


Nesisa menambahkan,” Bener. Kita masih bisa merasakan cinta walau kita tak punya, tapi tak jarang mereka yang kaya bahagia. Betul kan?”


Aku berpikir sejenak. Ternyata betul apa yang mereka katakan. ”Aduh, aku kok kebawa emosi. Aku hanya kesel sama keadaan ini.”

”Ya udah, gak usah kesel. Nikmati aja.” Kata Dikta.


Kami berempatpun segera duduk di bawah pohon yang rindang di seberang jalan.


Nesisa,” Eh ya... ngomong-ngomong cewek tadi itu ngasih uang berapa ke kamu, Yu?”


Aku hampir lupa dengan uang yang telah aku terima dari gadis itu tadi. Aku merogoh kantong celanaku, dan aku keluarkan satu-satunya uang yang ada di sakuku.


Aku tercengang melihat uang yang aku pegang. Aku berbicara dengan nada keheranan. ”Gila!! Apa cewek itu tadi gila ya?”

Dikta merasa aneh mendengar perakataanku. ”Kok kamu gitu sih, Yu? Ada apa? Apa gadis itu hanya memberi kita sedikit?”

”Ya kalaupun sedikit, Alhamdulillah. Allah masih mengizinkan kita untuk dapat rizki di permulaan hari ini.” Kata Tita.

”Bukan..! bukan sedikit yang ia berikan. Malah aku rasa uang itu terlalu besar buat kita.” Ujarku.


”Kok bisa begitu?” Tanya Nesisa.


”Coba kalian lihat, berapa angka yang tertulis di uang ini!” Aku memperlihatkan uang yang aku pegang kepada ketiga kawanku. ”Lihat kan?! Kayaknya ia salah ngambil uang gara-gara ia sibuk teleponan.”


”Benar juga..sepertinya ia udah salah ngambil uang deh.” Gumam Tita.


”Kalau begitu, kita harus balikin uang ini ke cewek tadi!”. Dikta langsung berdiri, dan menyuruh kami ikut berdiri.


”Tapi, Dik, kamu tahu dimana sekolah cewek tadi?” Tanya Tita.


”Aku sih gak tahu, mungkin aja Si Fara ngelihat nama sekolah di seragam yang ia pakai...”


”Hmm..kayaknya aku tahu..tapi tadi aku ngelihat logo sekolahnya aja. Logo sekolahnya itu, ada gambar perisai warna biru, terus di dalam perisai itu ada gambar matahari, buku, Pegasus, tunas bunga, dan di tengahnya ada gambar hati warna pink.”


”Hmm..bentar...” Dikta langasung berpikir. ”Kayaknya aku tahu dimana sekolah cewek tadi. Dia sekolah di SMA Harapan Bangsa. Kira-kira kita harus nempuh jarak 3 kilo kalau kita jalan kaki. Dan bisa-bisa memakan waktu 4 jam.”


”Waw..lumayan jauh juga.” Nesisa bergumam.


”Apa gak bisa cara lain ke sana selain kita jalan kaki?” tanya Tita.


”Ada. Dan cara lain, Cuma dengan cara kita harus ngamen dari bus ke bus. Pertama kita harus naik bus ke arah Sin Savi, terus kita turun di terminal Nerata.dari terminal, kita naik lagi bus ke arah Pasapura. Karena gak ada angkutan umum ke sana. Itu satu-satunya cara lain selain jalan kaki.”


”Oke. Apa kalian mau pake jalan kaki atau pake cara ngamen dari bus ke bus?” Aku bertanya kepada Tita dan Nesisa yang kelihatan enggan untuk berjalan kaki sejauh 3 Km.


”Daripada jalan kaki, mending ngamen. Kita kan juga bisa dapat duit tambahan.” Sahut Tita.


”Iya, kalau kita jalan kaki, selain capek, kita gak bisa dapat uang. Mending ngamen dari bus ke bus.” Nesisapun menyetujui cara kedua yang diusulkan Dikta.


”Kalau begitu, let’s go, baby!” Teriak Dikta.

~*+*~



Sulit, benar-benar sulit untuk mencari bus yang ke arah Sin Savi. Karena bus yang ke arah Sin Savi hanya lewat daerah ini 2 jam sekali.


Daun-daun tua berguguran dari pohon rindang di belakang kami, angin tak mengizinkan daun-daun itu menyentuh tanah. Jalanan di depan kami makin terpadati kendaraan-kendaraan bermotor. Asap-asap mengepul meningkatkan grafik pada mesin penghitung kadar polusi.


Tak terasa dua jam telah berlalu. Dan bus yang kami tunggu-tunggu dari tadi akhirnya menampakkan bempernya. Kami bergegas meminta izin kondektur agar diberi izin mengamen di dalam bus tersebut. Setelah mendapat izin dari kondektur, kami bergegas masuk ke dalam bus yang berwarna putih bergaris merah itu.


Di dalam bus, kami beraksi mendendangkan lagu-lagu pop dari request penumpang yang ada. Sebelum itu, sebagai pembukaan, kami menyanyikan lagu andalan kami ”Tolong Dengarkan”.

Bus melaju dengan kecepatan lumayan cepat. Tapi itu tak membuat kami kesusahan untuk menyodorkan bungkus permen guna diisi uang seikhlasnya oleh para penumpang.


Setelah sampai di terminal Nerata, kami turun dengan perasaan sama seperti biasanya. Rasa bersyukur karena masih bisa mendapat rezeki lebih hari ini. Tak seperti mencari bus ke arah Sin Savi, bus yang ke arah Pasapura sangat mudah dicari di terminal ini. Bus arah Pasapura berjubel di areal yang lumayan luas di terminal Nerata ini.

Kami mencari bus yang kelihatan telah terisi penuh dan hendak berangkat. Seperti biasa, kami meminta izin kondektur agar bisa numpang ngamen di bus yang ia kondekturi. Buspun segera berangkat ke luar terminal.

Aku baru tahu, ternyata daerah Nerata merupakan daerah yang macetnya minta ampun. Dari dalam bus, terdengar suara klakson yang berteriak lantang bersahutan, karena mereka tak sabar ingin segera lepas dari kemacetan.


Tapi setelah melewati daerah Nerata, buspun bisa leluasa menunjukkan kekuasaannya sebagai raja jalanan.

Hampir 1 jam lamanya berada di dalam bus, akhirnya kami sampai juga di depan gerbang SMA Harapan Bangsa. Kami bergegas turun.


Kami tercengang melihat bangunan yang tak bisa dipercaya kalau bangunan itu adalah sebuah sekolah SMA. Gedung-gedung kelasnya bertingkat dua, lapang parkirnya luas seperti lahan parkir di plasa-plasa, dan gerbang sekolahnya menjulang tinggi diapit benteng tinggi bak pintu istana kerajaan.


Kami tak bisa langsung masuk ke dalamnya, karena pasti pengamen dilarang masuk ke sekolah kaum borjuis itu. Jadi kami hanya bisa menunggu cewek bermobil putih itu keluar dari sekolahnya. Lagipula, kalaupun diizinkan masuk, kami tak tahu nama orang yang kami sedang kami cari.


”Yu, lihat deh! Itu bukan mobil yang ditumpangi cewek tadi pagi?” Teriak Tita setelah mengamati keadaan sekitar.

”Mana?” Aku melihat ke arah yang ditunjukkan Tita. ”Benar! Itu mobil punya cewek yang tadi ngasih uang Rp 100.000 ke aku.”

”Eh, kita ke sana yuk. Sepertinya di dalam mobil itu ada sopirnya deh?!” Kata Tita sambil mengguncang lengan tanganku.


Kami berempatpun menghampiri mobil sedan putih yang tengah parkir tak jauh dari gerbang SMA Harapan Bangsa.

Benar juga. di dalam mobil sedan itu, terdapat seorang pria berseragam rapi tengah merebahkan diri di kursi kemudi yang di tidurkan ke arah belakang.

Dikta mengetuk kaca cendela mobil itu.

Sopir itu segera membalikkan posisi kursinya, dan membuka jendela.

”Ada apa ya, kok adik-adik ini mengetuk kaca mobil ini? Apa adik mau ngamen? Kalau mau ngamen, msilahkan aja. Tapi maaf, saya sedang tidak ada uang.”

”Ehm, bukan. Kami emang pengamen tapi lagi tak mau ngamen. Kami ada perlu sama bapak.”. Nesisa menjelaskan tujuan kami datang kemari dan mengetuk kaca jendela mobil putih itu.

”Oh..jadi begitu. Adik-adik ini pengin ketemu sama Non Puspa?”

Seketika aku bergumam dalam hati,” Jadi nama cewek itu Puspa..”. ”Iya..kami mau menanyakan ke Non Puspa, apa ia salah mengambil uang tadi pagi di lampu merah di daerah Jarash?”

”Kalau itu, saya juga gak tahu. Mending nanya langsung aja ke Non Puspa. Nanti kira-kira 2 jam lagi, sekolahnya selesai.”

“Ya sudah kalau begitu, kami tunggu aja di pohon di depan gerbang sekolah. Nanti kalau Non Puspa kami lihat datang ke sini, kami ke sini lagi.” Aku meminta izin kepada sopir pribadi itu.

~*+*~


Di bawah pohon jambu itu, kami menghitung uang yang kami dapat dari hasil ngamen di bus tadi.

”Alhamdulillah.. kita hari ini dapat Rp 40.000 dari hasil ngamen kita di bus tadi.” Ujar Nesisa.

”Hmm..gimana kalau kita beliin yang 20 ribunya buat makan siang kali ini?” Usul Tati.

”Perutku juga udah lapar nih.” Timpal Dikta.

”Ya sudah, kalau begitu kita makan aja dulu di warung itu sambil menunggu jamp pulang Puspa.” Ajak Nesisa.

Kami berempat merapat ke pelabuhan pengisi perut yang berada tak jauh dari tempat kami beristirahat.

Di warung itu, kami memesan lauk-lauk yang sederhana tapi bergizi. Karena pastilah tak cukup kalau kita memesan lauk daging-dagingan. Jadi kami hanya memesan telor 4 butir, tahu-tempe masing-masing sepasang.

Tita memulai percakapan, dengan mulut mengunyah ia berkata,” Enak ya kalau kita bisa sekolah di sana. Kayaknya kita bakal betah belajarnya.”

”Iya. Tapi, kapan ya, kita bisa sekolah?” Tanyaku.

Diktapun menjawab,” Tak tahulah, mungkin ini memang sudah nasib kita..”

Tita pun memberi jawabannya,” Terima aja nasib kita, orang tak punya seperti kita mana bisa sekolah.”

”Tapi kan ada BOS!!” Nesisa ikut andil dalam pembicaraan kami mengenai keinginan sekolah yang telah lama kami pendam.

Tita dengan nada pesimis mengutarakan kebenciannya terhadap iklan-iklan pemerintah yang sepertinya Cuma janji belaka,” Alah, BOS apaan?! Itu cuma permainan politik aja. Emang sih SPP-nya gratis, tapi pasti ada uang untuk beli seragam, buku, dan lain sebagainya. Peribahasanya membeli kucing dalam karung. Benar kan?”

”Benar juga, kapan semua serba gratis untuk dunia pendidikan?” Dikta menyetujui ucapan Tita.

”Aku rasa nanti, kalau mereka yang di atas tidak gila kekuasaan.” Kata Nesisa mencoba menyenangkan kami.

Pembicaraan itu semakin mengasyikkan. Walau makanan makan siang kami telah habis, kami masih saja berbincang-bincang.

Kami seperti merasa kami ini menjadi wakil rakyat yang terpilih dalam pemilu 2014 nanti. Kami berdebat, berpendapat, dan mengeluarkan semua uneg-uneg yang kami benam dalam pikiran kami selama ini.

Suasana di luar warung tiba-tiba menjadi ramai. Suara cewek yang tertawa manis, dan suara cowok yang merayu cewek-cewek, juga suara motor dan mobil yang terdengar bertenaga melenyapkan keheningan tadi.

Ternyata sekolah pun telah habis jam pelajarannya lima menit yang lalu.

Kami berempat cepat-cepat keluar dan bergegas menghampiri tempat mobil Puspa diparkir. Gara-gara kami terburu-buru, Nesisa hampir lupa membayar kepada pemilik warung tempat kami makan siang. Untung pemilik warung tersebut tak marah, dan hanya tersenyum melihat tingkah kami.

Kami berlari secepat yang kami mampu, kami takut mobil putih itu lenyap. Beruntung mobil putih milik Puspa itu masih ada. Dan puspa dengan wajah cantik bersinar bak bidadari beridiri di belakang mobil.

Sesampainya di dekatnya, aku lihat ia tersenyum melihat keadaan kami. Coba tebak apa yang telah kami alami? Kami merasa perut kami sakit.

”Kalian ini kenapa? Sunduken ya?” Tanyanya.

Sunduken? Apa itu? Kami tak mengerti artinya, non.” Jawab Nesisa sembari memegangi perutnya.

”Aduh, gak usah panggil non segala. Kita kan seumuran. Sunduken itu bahasa jawa, yang artinya perut kita terasa sakit kalau kita habis makan dan tak membiarkannya turun dulu dan kita langsung berjalan atau lari. Seperti yang tengah kalian alami sekarang. Lucu kalian..” Ia tertawa kecil, seperti ia tak pernah merasakan hal-hal lucu sebelumnya.

”Ow..iya, tadi kami baru makan langsung lari kemari. Kami takut kamu sudah pulang.” Kata Dikta.

”Lho? Emang ada apa ya kok sampai nyari aku dan rela sunduken demi nemui aku? Emang aku punya salah ya?” Puspa keheranan karena ia sama sekali merasa tak punya salah sama sekali.

”Bukan begitu. Tapi kami Cuma mau menyanyakan sesuatu.” Tukas ku.

”Gini, kamu tadi pagi yang lewat lampu merah daerah Jarash kan? Pasti lupa sama muka kami. Kami ini pengamen yang kamu kasih uang tadi.” Dikta menjelaskan.

”Iya, emang tadi pagi aku ngasih uang pengamen...” Puspa melihat satu persatu wajah kami. ”Oh, aku baru ingat sekarang. Kamu tadi yang nyanyi lagu Tolong Dengarkan kan?” Ia menarik lenganku ke dekatnya. ”Emangnya, ada apa? Apa uangnya kurang?”

”Bukannya kurang. Tapi sepertinya kamu udah salah ngambil uang deh. Karena aku lihat tadi, kamu sebelum ngasih uang ke aku, kamu asyik teleponan. Pasti kamu pingin ngasih uang 1000 tapi kamu keliru ngambil uang 100 ribu. Ini uangnya, belum kami belanjakan.” Aku menyodorkan uang yang nominalnya terlalu besar bagi aku dan ketiga temanku.

Ia menutup telapak tanganku agar menerima uang pemberiannya, dan berkata,”Kenapa dikembalikan? Kalian tidak mau dapat uang segini ya? Aku gak salah ngambil uang kok. Uang ini emang buat kalian. Karena sebelum aku buka jendela mobilku, aku amati kalian. Dan aku juga menikmati lagu ciptaan kalian.”

”Oh, kalau begitu..terimakasih banyak ya non, eh salah maksudku Puspa.” Kata Nesisa.

”Kalian mau tidak jadi temanku?” Tanyanya.

”Emang Puspa gak malu punya teman anak gelandangan kayak kami ini? Puspa kan anak orang kaya, sedangkan kami Cuma pengamen. Bisa turun derajat kan nanti kalau Puspa temenan ama kita-kita?” Ujar Tita.

”Enggak. Aku enggak peduli. Aku benar-benar pingin jadi teman kalian. Karena kalian bisa memberi sesuatu yang lama aku harapkan, yaitu keceriaan. Kalau perlu, aku akan minta ayahku untuk membiayai kalian sekolah. Dan kalian tinggal di rumahku sekalian.” Ia menawarkan hal yang selama ini kami idam-idamkan.

Kami berempat bingung, dan tertegun. Semua ucapannya itu bak ucapan yang selalu terdengar saat kami berempat berselimut mimpi.

”Udah, gak perlu pikir-pikir lagi. Rugi lho kalau kalian tolak penawaran non Puspa. Kalian pasti mau sekolah juga kan?” Suara sopir pribadi yang tiba-tiba ada di sebelahku.

”Aku sih mau sekali sekolah. Tapi..teman-temanku yang lainnya pada mau tidak?” Tanyaku sembari melihat ke ara ketiga sahabatku.
Tanpa aku duga.. mereka serempak menjawab, ”TENTU, KAMI MAU.
KAMI KAN MAU PINTAR DAN INGIN MENDAPATKAN ILMU YANG LEBIH LENGKAP. JADI KAMI JUGA MAU SEKOLAH.”

”Kalau begitu, sekarang ikut aku pulang yuk, kawan.” Ia mengajak kami berempat untuk tinggal bersamanya.

Akhirnya, kami semua bisa juga merasakan nikmatnya bersekolah. Tapi walaupun kehidupan kami berempat sudah berubah 1800, kami tidak melupakan orang-orang pinggiran seperti kami dulu. Kami tetap menjaga tali silahturahmi dengan mereka. Dan Puspa, gadis yang baik hati itu, membuka sekolah gratis buat anak-anak yang gak mampu. Sekolah itu dimulai jam 3 sore. Jadi sepulang sekolah, kami beristirahat sejenak dan langsung berbagi ilmu yang kami peroleh di sekolah dengan orang-orang yang hanya bisa bermimpi menjadi seorang pelajar.




Normal 0 false false false MicrosoftInternetExplorer4

Andai saja, di negeri ini banyak sosok yang seperti Puspa, pasti tidak ada lagi kebodohan di negeri ini. Dan pendidikan di negeri ini bisa tak dipandang lagi sebelah mata. Sebenarnya, memperoleh ilmu itu bisa darimana saja. Sekarang zaman sudah modern, jadi ilmupun menyebar dengan luas tanpa batasan ruang-waktu. Tapi pada dasarnya, siapa yang berusaha memperoleh ilmu itu sebanyak-banyaknya, maka dialah orang yang akan memperoleh kebahagiaan karena tercapainya semua cita-cita. There is a will, there is a way.



Ciptaan: Radik "RaSa" Sahaja

XI IPA 2







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Deer leaping Ani Pictures, Images and Photos